BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Isnin, 28 Februari 2011

Apa Itu Kreatif?

Pemikiran kreatif sudah lama dibincangkan dan dibahaskan secara ilmiah. Sering kali terdapat perbezaan tanggapan pada pengertian ‘kreatif’ itu. Namun begitu, hal ini adalah perkara biasa dalam dunia akademik kerana masing-masing merupakan tokoh akademik, penyelidik, sarjana dan dapat mengemukakan konsep yang asli berdasarkan pemerhatian, pengalaman, kajian dan latar disiplin ilmu yang mereka miliki. Menurut kamus Webster’s (1976) pemikiran kreatif ialah, “The ability to bring something new existence”. Definisi ini memperlihatkan kreativiti itu adalah kebolehan mewujudkan sesuatu yang baru sama sekali. Apabila direnung dan difikirkan secara mendalam, dapatkah manusia yang mempunyai sifat yang lemah mewujudkan sesuatu yang baru sama sekali, iaitu daripada ‘tiada’ kepada‘ada’. Definisi ini seolah-olah melambangkan suatu tingkah laku dan pemikiran manusia yang hebat, dapat melakukan apa saja yang diinginkan. Malah, dalam keadaan kritikal sekalipun, manusia masih dapat membuktikan kemampuannya menyelesaikan sesuatu masalah. Maka, dapatlah disimpulkan definisi ini terlalu ekstrem bagi menggambarkan kemampuan dan kebolehan manusia berkreativiti.
Ramai sarjana yang berpendapat, tidak mungkin seseorang itu dapa tmenghasilkan sesuatu yang tidak pernah wujud sebelumnya, kerana ia memperlihatkan kemampuan manusia mencipta ‘sesuatu daripada tiada kepada ada.’ Sekali imbas, definisi kreatif seperti ini seolah-olah menyanggah kekuasaan dan hak Tuhan. Tidak mungkin seorang manusia yang lemah dan serba kekurangan dapat menghasilkan sesuatu yang baru dan asli. Menurut John (2002); “Only God could create, and whatever he created was original. Man could only rearrange what God had created.”
Namun yang pasti menurut de Bono (1970), kreativiti itu memang berlaku tanpa disedari oleh manusia itu sendiri. Lantaran itu, sehingga kini terdapat ribuan maksud berkenaan pemikiran kreatif dan kesemuanya dapat disimpulkan sebagai berikut (Hassan, 1989) dan (Nik Azis, 1994); “Terminologi kreatif berasal daripada perkataan Latin ‘creare’ yang bermaksud ‘membuat’ (to make). Manakala dalam bahasa Greek pula, ‘Krainein’ yang membawa makna ‘memenuhi’. Dalam bahasa Inggeris ‘create’ atau ‘cipta’ dalam bahasa Melayu.”
“To cause to exist, bring into being, originate, to give rise, bring about, produce, to be first to portray and give character to a role or part creation: An original product of human invention or imagination.”
“A process of becoming sensitive to problems, deficiencies, gaps in knowledge, missing elements, disharmonies and so on; identifying the difficult; searching for solutions, making guesses or formulating hypotheses about the deficiencies; testing and retesting these hypotheses and possibly modifying and retesting them and finally communicating the
results.” (Torrance, 1974)
Bagaimanapun, konsep kreatif dan kreativiti amat luas dan tidak rigid berdasarkan ruang, tempat dan masa. Malah, konsep kreativiti boleh dilihat dalam pelbagai sudut berdasarkan latar belakang seseorang seperti ahli agama, peguam, jurutera, doktor, pemandu bas, ahli akademik, ahli politik dan sebagainya. Malah menurut Leong (2000), sesetengah sarjana yang liberal mentafsirkan; “People who copy concepts and ideas,” sebagai memenuhi ciri-ciri kreatif. Ringkasnya, istilah kreatif dan kreativiti digunakan bagi menggambarkan produk sosial yang dihasilkan. Berdasarkan konsep kreativiti secara umum, dapat disimpulkan konsep pemikiran kreatif berkisar kepada entiti berikut:
1.      Melakukan sesuatu dengan cara yang unik.
2. Seseorang itu dapat keluar daripada pola yang sama atau the pattern
of sameness.
3. Berfikir di luar kotak atau thinking outside of the box.
4. Melihat sesuatu daripada perspektif baru.
5. Menggabungkan idea yang sedia ada kepada pembentukan idea baru.
6. Membuka minda dengan idea-idea baru.
7. Mencabar andaian.
8. Mencipta sesuatu yang baru.
9. Menghubungkan idea yang tidak berkaitan.
10. Menerbitkan idea besar kepada idea-idea kecil.
11. Berfikir secara fleksibel.
12. Penghasilan idea, penyelesaian, konsep dan produk yang asli (novel).
13. Membuat sintesis, imaginasi dan visualisasi.
Pemikiran kreatif adalah pemikiran yang menerbitkan idea iaitu berlawanan dengan pemikiran kritis yang membuat penilaian ke atas sesuatu idea. Idea yang diterbitkan bersifat baru dan kadang-kadang berlawanan dengan logik. Namun, pemikiran kreatif mestilah berasaskan manipulasi segala pengalaman dan pengetahuan yang sedia ada. Menerusi pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya, seseorang itu akan berusaha mencari pelbagai input idea dalam pelbagai perspektif dan dimensi bagi mewujudkan idea atau hasil yang baru yang lebih baik daripada sebelumnya dalam membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Keadaan ini dijelaskan oleh Rikards (1990) sebagai, “Creativity involves escaping from stuckness and opening up possibilities.”
http://muassasah.wordpress.com/2007/03/14/apa-itu-kreativiti/

Pendekatan Konstruktivisme

Definisi Konstruktivisme adalah suatu pandangan yg didasarkan pada aktivitas pembelajar untuk menginterpretaskan, mereorganisasikan, menciptakan berdasarkan interaksi dan pengamannya

Prinsip-prinsip Pembelajaran Konstruktivisme

1. Permasalahan yang muncul harus relevan dengan siswa
2. Struktur belajar di sekitar konsep-konsep utama
3. Beri kemudahan siswa dlm menyampaikan pandangannya yang berhubngan dgn tema itu.
4. Sesuaikan pembelajaran tsb dgn perkiraan & pengembangan potensi siswa.
5. Nilai hasil belajar siswa harus dlm konteks pembelajaran.

Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme (Ernest, 1995: 485)

1. Pengetahuan hrs diproblematisasikan
2. Pendekatan, metafora, dsb diperlukan untuk menghampiri suatu persoalan (tidak langsung)
3. Fokus perhatian bukan hanya pd kognisi, tetapi kepercayaan, persepsi & konsepsi-konsepsi, dsb.
4. Fokuskan & kaitkan dgn teori-teori tertentu yg relevan
5. Apapun yang namanya mendidik harus dilandasi dengan keikhlasan.
6. Suatu konstruksi sosial memerlukan diskusi, kerja kelompok, karena bukan sekedar sosial skill, tetapi perlu adanya konfirmasi konsep, penyempurnaan dari komnt yg heterogen.

Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme (Jonassen, 1991: 11-12)

1. Menggambarkan lingkungan dunia nyata & mempelajari hal yg relevan;
2. Memusatkan pada pendekatan yg realistis untuk pemecahan masalah dunia nyata;
3. Guru harus mampu menjadi pelatih/penganalisis strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah ini;
4. Tekankan antar konsep saling berhubungan dan memberikan berbagai penyajian atau perspektif pada isi;
5. Tujuan dan sasaran pembelajaran harus dirundingkan dan tidak memaksakan pada siswa
6. Evaluasi harus melayani sebagai suatu alat analysis-diri;
7. Menyediakan alat-alat dan lingkungan yang membantu siswa menginterpretasikan berbagai perspektif tentang dunia;
8. Belajar harus secara internal dikontrol dan dimediasi oleh siswa.

Model Konstruktivisme McClintockdan Black

1. Observasi: siswa melakukan observasi terutama atas sumber-sumber, materi-materi, foto, gambar, rekaman video, & permainan ttg kebudayaan daerah;
2. Konstruksi Interpretasi: siswa menginterpretasikan pengmt dan memberikan penjelasan;
3. Kontekstualisasi: siswa membangun konteks untuk penjelasan mereka;
4. Belajar keahlian kognitif: guru membantu pengamatan, penguasaan siswa, interpretasi, dan kontekstualisasi;
5. Kolaborasi: Para siswa bekerja sama dalam observasi, menafsirkan, dan kontekstualisasi;
6. Interpretasi jamak: Para siswa memperoleh fleksibilitas kognitif dengan memiliki kemampuan mengunjukkan berbagai penafsiran dari berbagai perspektif;
7. Manifestasi jamak: siswa memperoleh transferabilitas dengan melihat berbagai penjelmaan penafsiran yang beragam.

Discovering Learning

Discovery Learning is a method of inquiry-based instruction and is considered a constructivist based approach to education. It is supported by the work of learning theorists and psychologists Jean Piaget, Jerome Bruner, and Seymour Papert. Although this form of instruction has great popularity, there is some debate in the literature concerning its efficacy (Mayer, 2004).
Jerome Bruner is often credited with originating discovery learning in the 1960s, but his ideas are very similar those of earlier writers (e.g. John Dewey). Bruner argues that “Practice in discovering for oneself teaches one to acquire information in a way that makes that information more readily viable in problem solving" (Bruner, 1961, p. 26). This philosophy later became the discovery learning movement of the 1960s. The mantra of this philosophical movement suggests that we should 'learn by doing'. In 1991, The Grauer School, a private secondary school in Encinitas, California, was founded with the motto, "Learn by Discovery ," and integrated a series of world-wide expeditions into their program for high school graduation. Discovery learning takes place in problem solving situations where the learner draws on his own experience and prior knowledge and is a method of instruction through which students interact with their environment by exploring and manipulating objects, wrestling with questions and controversies, or performing experiments.

Discovery learning in special needs education
With the push for special needs students to take part in the general education curriculum, prominent researchers in the field doubt if general education classes rooted in discovery based learning can provide an adequate learning environment for special needs students. Kauffman has related his concerns over the use of discovery based learning as opposed to direct instruction. Kauffman comments,to be highly successful in learning the facts and skills they need, these facts and skills are taught directly rather than indirectly. That is the teacher is in control of instruction, not the student, and information is given to students (2002). This view is exceptionally strong when focusing on students with math disabilities and math instruction. Fuchs et al. (2008) comment,
Typically developing students profit from the general education mathematics program, which relies, at least in part, on a constructivist, inductive instructional style. Students who accrue serious mathematics deficits, however, fail to profit from those programs in a way that produces understanding of the structure, meaning, and operational requirements of mathematics… Effective intervention for students with a math disability requires an explicit, didactic form of instruction…
Fuchs et al. go on to note that explicit or direct instruction should be followed up with instruction that anticipates misunderstanding and counters it with precise explanations. It must be noted, however, that few studies focus on the long-term results for direct instruction. Long-term studies may find that direct instruction is not superior to other instructional methods. For instance, a study found that in a group of fourth graders that were instructed for 10 weeks and measured for 17 weeks direct instruction did not lead to any stronger results in the long term than did practice alone (Dean & Kuhn, 2006). Other researchers note that there is promising work being done in the field to incorporate constructivism and cooperative grouping so that curriculum and pedagogy can meet the needs of diverse learners in an inclusion setting (Brantlinger, 1997). However, it is questionable how successful these developed strategies are for student outcomes both initially and in the long term.

Criticism of pure discovery learning
A debate in the instructional community now questions the effectiveness of this model of instruction (Kirschner, Sweller, & Clark, 2006). Bruner (1961) suggested that students are more likely to remember concepts if they discover them on their own. This is as opposed to those they are taught directly. However, Kirschner, Sweller, and Clark (2006) report there is little empirical evidence to support discovery learning. Kirschner et al. suggest that fifty years of empirical data does not support those using these unguided methods of instruction.
Several groups of educators have found evidence that pure discovery learning is a less effective as an instructional strategy for novices, than more direct forms of instruction (e.g. Tuovinen & Sweller, 1999).
Mayer (2004) points out that interest in discovery learning has waxed and waned since the 1960s. He argues that in each case the empirical literature has shown that the use of pure discovery methods is not suggested, yet time and time again researchers have renamed their instructional methods only to be discredited again, to rename their movement again. Mayer asked the question "Should There Be a Three-Strikes Rule Against Pure Discovery Learning?" While discovery for oneself may be an engaging form of learning, it may also be frustrating. The main idea behind these critiques is that learners need guidance (Kirschner et al., 2006), but later as they gain confidence and become competent then they may learn through discovery.